Bernama lengkap Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin
al-Dhahhak al-Sulami al-Dharir al-Bughi al-Tirmidzi[1], sang ulama besar
yang lebih populer dengan sebutan Abu Isa ini dilahirkan pada 209 H[2]
di desa Tirmidz, sebuah kota kuno yang terletak di pinggiran sungai
Jihon (Amoderia), di belahan utara Iran.
Sebagian ulama sangat membenci sebutan Abu Isa. Mereka menyandarkan
argumennya dari hadis Abu Syaibah yang menerangkan bahwa seorang pria
tidak diperkenankan memakai nama Abu Isa, karena Isa tidak mempunyai
ayah. Sabda Nabi Muhammad: “Sesungguhnya Isa tidak mempunyai ayah”.
Al-Qari menjelaskan lebih detail, bahwa yang dilarang adalah jika nama
Abu Isa digunakan sebagai nama asli, bukan kunyah atau julukan.
Dalam hal ini, penyebutan Abu Isa adalah hanya untuk membedakan
al-Tirmizi dengan ulama yang lain. Sebab, ada beberapa ulama besar yang
populer dengan nama al-Tirmidzi, yaitu: (1) Abu Isa al-Tirmidzi,
pengarang kitab al-Jami’ al-Shahih (tokoh yang kitabnya dibahas dalam
tulisan ini), (2) Abu al-Hasan Ahmad bin al-Hasan, yang populer dengan
sebutan al-Tirmidzi al-Kabir. (3) Al-Hakim al-Tirmidzi Abu Abdullah
Muhammad `Ali bin al-Hasan bin Basyar. Ia seorang zuhud, hafiz, mu’azin,
pengarang kitab dan populer dengan sebutan al-Hakim al-Tirmidzi.
Imam al-Tirmidzi merupakan figur yang cerdas, tangkas, cepat hafal,
zuhud, juga wara′. Sebagai bukti kerendahan pribadi, beliau senantiasa
mencucurkan air mata, sehingga kedua bola matanya memutih, dan kemudian
menimbulkan dampak kebutaan pada masa tuanya. Dengan adanya musibah
kebutaan inilah beliau juga disebut al-Dharir (yang buta).
Tentang sejak kapan terjadinya musibah kebutaan kedua mata Imam
al-Tirmidzi, banyak terjadi silang pendapat di dalamnya. Ada sebagian
yang menyatakan beliau buta sejak lahir, sementara ulama yang lain
menyatakan ketika usianya mulai senja, setelah perjalanan panjang
perlawatannya menimba ilmu, juga menulis hadis. Tapi mayoritas ulama
sepakat, beliau tidak buta sejak lahir, melainkan musibah itu datang
belakangan. Yusuf bin Ahmad al-Baghdadi menuturkan, "Abu Isa mengalami
kebutaan pada masa menjelang akhir usianya."
Sejarah Perlawatan Menuntut Ilmu Imam At-Tirmidzi
Sebenarnya, tidak ada riwayat yang pasti menunjukkan kapan Imam
al-Tirmidzi memulai pengembaraan mencari ilmunya. Akan tetapi, memang
beberapa catatan biografi mengenainya memberi informasi bahwa ia memulai
perjalanannya sejak kira-kira usia duapuluh tahun.[3]
Sejak usia dini, al-Tirmidzi sudah gemar mempelajari dan mengkaji
berbagai disiplin ilmu keislaman, baik fiqh maupun hadis. Masa kecilnya
ia habisnya belajar (sima’) di desanya. Ada riwayat yang menyebutkan
bahwa pada 234 H ia bertolak ke Mekkah,[4] dalam rangka mempelajari dan
mengkaji ilmu-ilmu secara lebih mendalam dan luas.
Beliau juga mengembara ke berbagai wilayah Islam. Al-Tirmidzi tercatat
pernah mengembara ke Khurasan, Bashrah, Kuffah, Iraq, dan Madinah. Akan
tetapi, ia dikabarkan tidak pernah menginjakkan kakinya guna menuntut
ilmu ke Syam dan Mesir.
Ia juga dikabarkan tidak menuntut ilmu ke Baghdad, karena, jika memang
benar ia pernah mengunungi Baghdad, niscaya ia juga akan berguru pada
Imam Ahmad bin Hanbal. Tetapi, pada kenyataannya ia tidak pernah
menerima riwayat apapun dari Imam Ahmad.
Pendapat ini disanggah oleh Al-Hafizh Ibn Nuqtah, bahwa sebenarnya Abu
Isa memang pernah singgah ke Baghdad, akan tetapi kunjungannya itu ia
lakukan setelah wafatnya Imam Ahmad bin Hanbal, oleh karenanya mereka
berdua tidak bertemu.
Diakui, beliau adalah seorang ulama’ yang multitalented. Hal ini
terbukti, dikarenakan kepiawaiannya dalam berbagai bidang, yakni:
1. Ilmu Hadis; Ia dianugerahi daya ingat yang menakjubkan dalam
menghapal ratusan ribu hadis lengkap dengan sanadnya. Tak hanya itu, ia
pun mampu membedakan yang shahih dari yang “sakit”, ia ahli dalam
menetapkan kualitas hadis-hadis tersebut. Kitabnya (Sunan Al-Tirmidzi),
merupakan bukti terbesar dari itu semua.
2. Ilmu ‘Ilal al-Hadis; Ia termasuk seorang yang pelopor dalam
mengetahui keadaan hadis serta illatnya. Ia mampu membedakan hadis-hadis
yang “sakit” dari yang shahih, yang pastinya tak terlepas dari luasnya
pengetahuan yang ia miliki hal ihwal perawi hadis: wafatnya, nama kunyah
serta nasabnya, maupun ketsiqahan dan kedha’ifannya.
3. Ilmu Jarh wa Ta’dil;
4. Ilmu Fiqh; pengetahuannya mengenai mazhab-mazhab ahli fiqh
beserta perbandingannya. Ia memahami fiqhnya Abu Hanifah, begitu pula
fiqh Malik, Al-Tsauri serta Al-Syafi’i. Ia juga menguasai fiqh para ahli
hadis, seperti Ahmad ibn Hanbal, Ishak ibn Rahawaih, dan lain-lain.[5]
Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh mencerminkan dirinya sebagai
ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan
yang sebenarnya.
Nama Guru dan Murid Imam At-Tirmidzi
Guru-gurunya amat banyak jumlahnya, diantaranya ialah: Muhammad ibn
Basyar Bundar (167-252 H), Muhammad ibn Al-Mutsanna Abu Musa (167-252
H), Ziyad ibn Yahya Al-Hassani (w. 254 H), Abbas ibn Abdul ‘Azhim
Al-‘Anbari (w. 246 H), Abu Sa’id Al-Asyaj Abdullah ibn Sa’id Al-Kindi
(w. 257 H.), Abu Hafsh ‘Amr ibn ‘Ali Al-Fallas (160-249 H), Ya’qub ibn
Ibrahim Al-Dauraqi (166-252), Muhammad ibn Ma’mar Al-Qaisi Al-Bahrani
(w. 256 H), dan Nashr ibn ‘Ali Al-Jahdhami (w. 250 H).[6]
Mereka yang disebut di atas juga merupakan guru dari para penulis kutub
al-sittah. Sedang gurunya yang lain ialah: Abdullah ibn Muawiyah
Al-Jumahi (w. 243 H), Ali ibn Hujr Al-Marwazi (w. 244 H), Suwaid ibn
Nasr ibn Suwaid Al-Marwazi (w. 240 H), Qutaibah ibn Sa’id Al-Tsaqafi Abu
Raja’ (150-240 H), Abu Mush’ab Ahmad ibn Abi Bakr Al-Zuhri Al-Madini
(150-242 H), Muhammad bn Abdul Malik ibn Abi Syawarib (w. 244 H),
Ibrahim ibn Abdullah ibn Hatim Al-Harawi (178-244 H), Ismail ibn Musa
al-Fazari Al-Suddi (w. 245 H),[7] Ishaq ibn Rahawaih, Muhammad ibn Amr
al-Sawwaq, al-Balki, Muhammad ibn Gailan, Yusuf ibn Isa, dan lain-lain.
Selain guru-guru di atas, Abu Isa juga belajar kepada Tirmidzi juga
belajar kepada Imam al-Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Dawud.[8]
Karena kehebatan dalam disiplin ilmu hadis, tak pelak lagi, banyak orang
yang ingin menyerap dan mengkaji kedalaman pengetahuannya dengan
menjadi muridnya. Mereka yang tercatat mengambil hadits dari Imam
al-Tirmidzi di antaranya: Makhul bin al Afdhal, Muhammad bin Mahmud
Anbar, Hammad bin Syakir, Abd bin muhammad al-Nafsiyyun, al-Haisam bin
Kulaib al-Syasyi, dan Ahmad bin Yusuf al-Nasafi, Abi al-Abbas al-Mahbubi
Muhammad bin Ahmad bin Mahbub al-Marwazi, dan lain-lain.
Daftar Karya Imam At-Tirmidzi
1. Kitab al-Jami’ al-Shahih, yang dikenal juga dengan al-Jami' al-Tirmidzi, atau lebih populer lagi dengan Sunan al-Tirmidzi.
2. Kitab ‘Ilal, kitab ini terdapat pada akhir kitab al-Jami’ al-Tirmidzi.
3. Kitab Tarikh.
4. Kitab al-Sama`il al-Nabawiyyah.
5. Kitab al-Zuhud.
6. Kitab al-Asma’ wa al-Kuna.
7. Kitab al-‘Ilal al-Kabir.
8. Kitab al-Asma’ al-Sahabah.
9. Kitab al-Asma’ al-Mauqufat.
Di antara karya al-Tirmidzi yang paling monumental serta tersebar luas
adalah kitab al-Jami` al-Sahih atau Sunan al-Tirmidzi, sementara
kitab-kitab yang lain, seperti: al-Zuhud, dan al-Asma’ wa al-Kuna kurang
begitu dikenal di kalangan masyarakat umum.
Begitu populernya kitab al-Jami’ al-Shahih, maka tak sedikit kitab
syarah yang bermunculan untuk mensyarah kitab tersebut. Di antaranya:
1. Aridat al-Ahwadzi, ditulis oleh Abu Bakar ibn al-`Arabi al-Maliki.
2. Al-Munqihu al-Syazi fi Syarh al-Tirmidzi oleh Muhammad ibn
Muhammad ibn Muhammad yang terkenal dengan Ibn Sayyid al-Nas al-Syafi’.
3. Syarh Ibn Sayyid al-Nas disempurnakan oleh al-Hafiz Zainuddin al-‘Iraqi.
4. Syarh al-Tirmidzi oleh al-Hafiz Abu al-Faraj Zainuddin `Abd
al-Rahman ibn Syihabuddin Ahmad ibn Hasan ibn Rajab al-Bagdadi
al-Hanbali.
5. Al-Lubab oleh al-Hafiz Ibn Hajar al-‘Asqalani.
6. Al-‘Urf al-Syazi’ ala Jami’ al-Tirmidzi oleh al-Hafiz Umar ibn Ruslan al-Bulqini.
7. Qat al-Mugtadi ‘ala Jami’ al-Tirmidzi oleh al-Hafiz al-Suyuti.
8. Ta’liq al-Tirmidzi dan Syarh al-Ahwazi oleh Muhammad Tihir.
9. Syarh Abu Tayyib al-Sindi.
10. Syarh Sirajuddin Ahmad al-Sarkandi.
11. Syarh Abu al-Hasan ibn `Abd al-Hadis al-Sindi.
12. Bahr al-Mazi Mukhtasar Sahih al-Tirmizi oleh Muhammad Idris’ Abd al-Ra'uf al-Marbawi al-Azhari.
13. Tuhfat al-Ahwadzi oleh Abu ‘Ali Muhammad Abd al-Rahman ibn ‘Abd al-Rahim al-Mubarakfuri.
14. Syarh Sunan al-Tirmidzi dengan al-Jami’ al-Shahih oleh Ahmad Muhammad Syakir.
15. Al-‘Urf al-Syazi ala Jami’ al-Tirmidzi oleh Muhammad Anwar Syah al-Kasymiri.[9]
Hari Wafat Imam At-Tirmidzi
Ada perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai kapan tepatnya Imam
al-Tirmidzi meninggal dunia. Al-Sam'ani dalam kitabnya al-Ansab
menuturkan bahwa beliau wafat di desa Bugh pada tahun 275 H. Pendapat
ini diikuti oleh Ibn Khallikan. Sementara yang lain mengatakan beliau
wafat pada tahun 277 H.
Sedangkan pendapat yang benar adalah sebagaimana dinukil oleh al-hafidh
al-Mizzi dalam al-Tahdzib dari al-Hafidh Abu al-Abbas Ja'far bin
Muhammad bin al-Mu'tazal-Mustaghfiri yang mengatakan “Abu Isa
al-Tirmidzi wafat di daerah Tirmidz pada malam Senin 13 Rajab 279 H.
Beliau wafat pada usia 70 tahun dan dimakamkan di Uzbekistan.“[10]
Penilaian Ulama’ Terhadap Imam AT-Tirmidzi
Para ulama besar telah memuji dan menyanjungnya, dan mengakui akan
kemuliaan dan keilmuannya. Diantaranya ialah Al Hakim, yang mengatakan
"Saya pernah mendengar Umar bin Alak mengomentari pribadi Al Tirmidzi
sebagai berikut; kematian Imam Bukhari tidak meninggalkan muridnya yang
lebih pandai di Khurasan selain daripada Abu 'Isa Al-Tirmidzi dalam hal
luas ilmunya dan hafalannya."
Abu Ya’la al-Khalili dalam kitabnya ‘Ulumul Hadis menerangkan; Muhammad
bin ‘Isa al-Tirmidzi adalah seorang penghafal dan ahli hadits yang baik
yang telah diakui oleh para ulama. Ia memiliki kitab Sunan dan kitab
Al-Jarh wat-Ta’dil. Hadis-hadisnya diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan
banyak ulama lain. Ia terkenal sebagai seorang yang dapat dipercaya,
seorang ulama dan imam yang menjadi panutan dan yang berilmu luas.
Kitabnya Al-Jami’ Al-Shahih sebagai bukti atas keagungan derajatnya,
keluasan hafalannya, banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang hadits
yang sangat mendalam.
Al-Dzahabi dalam Tadzkirah Al-Huffazh, Al-Shadafi dalam Nakt Al-Himyat
dan Al-Mizzi dalam Al-Tahdzib telah mengutip pendapat Al-Hafiz Abu Hatim
Muhammad ibn Hibban, kritikus hadith, yang menggolongkan Al-Tirmidzi ke
dalam kelompok “tsiqah” atau orang-orang yang dapat dipercayai dan
kukuh hafalannya, dan berkata: "Al-Tirmidzi adalah salah seorang ulama
yang mengumpulkan hadis, menyusun kitab, menghafal hadis dan
bermuzakarah (berdiskusi) dengan para ulama.”[11]
Salah satu bukti kekuatan dan cepat hafalannya ialah kisah berikut yang
dikemukakan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahdzib al-Tahdzib-nya, dari
Ahmad bin ‘Abdullah bin Abu Dawud, yang berkata: "Saya mendengar Abu
‘Isa al-Tirmidzi berkata: Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju
Makkah, dan ketika itu saya telah menulis dua jilid berisi hadis-hadis
yang berasal dari seorang guru.
Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai
dia, mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu. Kemudian
saya menemuinya. Saya mengira bahwa "dua jilid kitab" itu ada padaku.
Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid
lain yang mirip dengannya.
Ketika saya telah bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya untuk
mendengar hadits, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia
membacakan hadits yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri
pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang masih putih bersih tanpa
ada tulisan sesuatu apa pun. Demi melihat kenyataan ini, ia berkata:
‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ lalu aku bercerita dan menjelaskan
kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya. ‘Coba
bacakan!’ suruhnya. Lalu aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun.
Ia bertanya lagi: ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang
kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku.
Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan hadits yang lain. Ia
pun kemudian membacakan empat puluh buah hadits yang tergolong
hadits-hadits yang sulit atau garib, lalu berkata: ‘Coba ulangi apa yang
kubacakan tadi,’ Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai;
dan ia berkomentar: ‘Aku belum pernah melihat orang seperti engkau."[12]
Sementara itu, pujian lain disampaikan oleh Imam al-Hakim Abu Ahmad:
“Sepeninggal Imam Bukhari, tiada ulama’ yang menyamai ilmu, kewara’an,
dan kezuhudannya di Khurasan kecuali Abu Isa Al-Tirmidzi.”[13]
Semua ini membuktikan bahwa sosok Imam al-Tirmidzi memang pantas
mendapat sanjungan. Namun demikian, ternyata ada sementara ulama yang
menganggap bahwa Imam al-Tirmidzi merupakan sosok yang tidak diketahui
asal-muasal dan jatidirinya (majhul al-hal), sehingga –secara otomatis–
periwayatannya ditolak begitu saja. Pandangan seperti inilah yang antara
lain dilontarkan Imam Ibn Hazm al-Dhahiri.
Statemen Ibn Hazm al-Dhahiri yang cukup kontroversial dan bertolak
belakang dengan pandangan mayoritas ulama ini telah membuat geger,
terutama di lingkungan ulama’ hadis. Bahkan Ibn Hazm banyak mendapat
kecaman, antara lain datang dari Imam Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab
Tahdzib al-Tahdzib. Dalam kitab itu sikap Ibn Hazm al-Dhahiri dianggap
sebagai satu wujud kesombongan terhadap kedudukan para ulama yang telah
masyur.
Imam al-Dzahabi dalam kitabnya Mizan al-I'tidal fi Naqd al-Rijal,
mengatakan, “Al-Tirmidzi adalah al-hafizh (ahli hadis) yang kondang,
penulis kitab al-Jami' terpercaya dan disepakati
periwayatannya.”Sedangkan pandangan Ibn Hazm al-Dhahiri tentang
kemajhulan Tirmidzi disebabkan ia tidak mengenal dan mengetahui pribadi
Tirmidzi beserta hasil-hasil karyanya, seperti al-Jami' dan al-
Ilal.[14] Sejarah juga membuktikan, pada saat itu kitab Al-Jami’
Al-Shahih milik Imam Tirmidzi belum sempat masuk ke wilayah Andalusia,
Spanyol, negeri tempat Ibn Hazm bermukim.[15]
Ibn Katsir dalam karyanya al-Bidayah wa al-Nihayah menuturkan,
“Pandangan Ibn Hazm tentang kemajhulan al-Tirmidzi tidak akan mengurangi
keunggulannya. Sikap ini tidak akan merendahkan pribadi al-Tirmidzi di
kalangan para ulama. Bahkan sebaliknya akan menurunkan derajat Ibn Hazm
sendiri dalam pandangan para ulama.”
Sumber Rujukan
[1] Abu Isa Muhammad bin Isa Al-Tirmidzi, Al-Jâmi’ Al-Shahîh (Beirut: Daar Al-Ihya’ Al-Turats Al-‘Arabi, tt)
[2] Sedang menurut Al-Dzahabi, ia lahir tahun 210 H. Lihat dalam CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif.
[3] CD-ROM Mausu’ah Al-Hadis Al-Syarif.
[4] CD-ROM Mausu’ah Al-Hadis Al-Syarif.
[5] CD-ROM Mausu’ah Al-Hadis Al-Syarif.
[6] Abu Isa Al-Tirmidzi, Al-Jami’ Al-Shahih (Beirut: Daar Al-Ihya’ Al-Turats Al-‘Arabi, tt), hlm. 81.
[7] Abu Isa Al-Tirmidzi, Al-Jami’ Al-Shahih, hlm. 82.
[8] Syamsuddin Al-Dzahabi, Siyar al-A’lam al-Nubala (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1990), juz III hlm. 271.
[9] www.attarefe.islamlight.net, diakses tanggal 8 Maret 2009.
[10] Muhammad Ai Mustafa Ya’kub, “Imam Al-Tirmidzi”, dalam
http://halaqah-online.com, diakses tanggal 8 Maret 2009. Lihat juga CD
Mausu’ah Al-Hadis
[11] http://www.al-ahkam.net. Cek ke Abu Isa Al-Tirmidzi, Al-Jami’ Al-Shahih,juz I, hlm. 85.
[12] CD Mausu’ah Al-Hadis Al-Syarif
[13] Dzulmani, Mengenal Kitab-Kitab Hadis (Yogyakarta: Insan Madani,
2008), hlm. 83. Cek ke Abu Isa Al-Tirmidzi, Al-Jami’ Al-Shahih, juz I
hlm. 86-87.
[14] Muhammad Al-Dzahabi, Mizan al-I'tidal fi Naqd al-Rijal (Beirut: Matba’ah ‘Isa al-Babi al-Halabi, 1963), juz III hlm. 278.
[15] Suryadi, “Kitab Sunan Al-Tirmidzi” ... , hlm. 107.
No comments:
Post a Comment