Thursday, December 15, 2016

tahun lahir imam mazhab dan imam hadist


imam at tirmizi

Bernama lengkap Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin al-Dhahhak al-Sulami al-Dharir al-Bughi al-Tirmidzi[1], sang ulama besar yang lebih populer dengan sebutan Abu Isa ini dilahirkan pada 209 H[2] di desa Tirmidz, sebuah kota kuno yang terletak di pinggiran sungai Jihon (Amoderia), di belahan utara Iran.
Sebagian ulama sangat membenci sebutan Abu Isa. Mereka menyandarkan argumennya dari hadis Abu Syaibah yang menerangkan bahwa seorang pria tidak diperkenankan memakai nama Abu Isa, karena Isa tidak mempunyai ayah. Sabda Nabi Muhammad: “Sesungguhnya Isa tidak mempunyai ayah”. Al-Qari menjelaskan lebih detail, bahwa yang dilarang adalah jika nama Abu Isa digunakan sebagai nama asli, bukan kunyah atau julukan. 
Dalam hal ini, penyebutan Abu Isa adalah hanya untuk membedakan al-Tirmizi dengan ulama yang lain. Sebab, ada beberapa ulama besar yang populer dengan nama al-Tirmidzi, yaitu: (1) Abu Isa al-Tirmidzi, pengarang kitab al-Jami’ al-Shahih (tokoh yang kitabnya dibahas dalam tulisan ini), (2) Abu al-Hasan Ahmad bin al-Hasan, yang populer dengan sebutan al-Tirmidzi al-Kabir. (3) Al-Hakim al-Tirmidzi Abu Abdullah Muhammad `Ali bin al-Hasan bin Basyar. Ia seorang zuhud, hafiz, mu’azin, pengarang kitab dan populer dengan sebutan al-Hakim al-Tirmidzi.
Imam al-Tirmidzi merupakan figur yang cerdas, tangkas, cepat hafal, zuhud, juga wara′. Sebagai bukti kerendahan pribadi, beliau senantiasa mencucurkan air mata, sehingga kedua bola matanya memutih, dan kemudian menimbulkan dampak kebutaan pada masa tuanya. Dengan adanya musibah kebutaan inilah beliau juga disebut al-Dharir (yang buta). 
Tentang sejak kapan terjadinya musibah kebutaan kedua mata Imam al-Tirmidzi, banyak terjadi silang pendapat di dalamnya. Ada sebagian yang menyatakan beliau buta sejak lahir, sementara ulama yang lain menyatakan ketika usianya mulai senja, setelah perjalanan panjang perlawatannya menimba ilmu, juga menulis hadis. Tapi mayoritas ulama sepakat, beliau tidak buta sejak lahir, melainkan musibah itu datang belakangan. Yusuf bin Ahmad al-Baghdadi menuturkan, "Abu Isa mengalami kebutaan pada masa menjelang akhir usianya."
Sejarah Perlawatan Menuntut Ilmu Imam At-Tirmidzi
Sebenarnya, tidak ada riwayat yang pasti menunjukkan kapan Imam al-Tirmidzi memulai pengembaraan mencari ilmunya. Akan tetapi, memang beberapa catatan biografi mengenainya memberi informasi bahwa ia memulai perjalanannya sejak kira-kira usia duapuluh tahun.[3]
Sejak usia dini, al-Tirmidzi sudah gemar mempelajari dan mengkaji berbagai disiplin ilmu keislaman, baik fiqh maupun hadis. Masa kecilnya ia habisnya belajar (sima’) di desanya. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa pada 234 H ia bertolak ke Mekkah,[4] dalam rangka mempelajari dan mengkaji ilmu-ilmu secara lebih mendalam dan luas. 
Beliau juga mengembara ke berbagai wilayah Islam. Al-Tirmidzi tercatat pernah mengembara ke Khurasan, Bashrah, Kuffah, Iraq, dan Madinah. Akan tetapi, ia dikabarkan tidak pernah menginjakkan kakinya guna menuntut ilmu ke Syam dan Mesir. 
Ia juga dikabarkan tidak menuntut ilmu ke Baghdad, karena, jika memang benar ia pernah mengunungi Baghdad, niscaya ia juga akan berguru pada Imam Ahmad bin Hanbal. Tetapi, pada kenyataannya ia tidak pernah menerima riwayat apapun dari Imam Ahmad. 
Pendapat ini disanggah oleh Al-Hafizh Ibn Nuqtah, bahwa sebenarnya Abu Isa memang pernah singgah ke Baghdad, akan tetapi kunjungannya itu ia lakukan setelah wafatnya Imam Ahmad bin Hanbal, oleh karenanya mereka berdua tidak bertemu.
Diakui, beliau adalah seorang ulama’ yang multitalented. Hal ini terbukti, dikarenakan kepiawaiannya dalam berbagai bidang, yakni:
1. Ilmu Hadis; Ia dianugerahi daya ingat yang menakjubkan dalam menghapal ratusan ribu hadis lengkap dengan sanadnya. Tak hanya itu, ia pun mampu membedakan yang shahih dari yang “sakit”, ia ahli dalam menetapkan kualitas hadis-hadis tersebut. Kitabnya (Sunan Al-Tirmidzi), merupakan bukti terbesar dari itu semua.
2. Ilmu ‘Ilal al-Hadis; Ia termasuk seorang yang pelopor dalam mengetahui keadaan hadis serta illatnya. Ia mampu membedakan hadis-hadis yang “sakit” dari yang shahih, yang pastinya tak terlepas dari luasnya pengetahuan yang ia miliki hal ihwal perawi hadis: wafatnya, nama kunyah serta nasabnya, maupun ketsiqahan dan kedha’ifannya.
3. Ilmu Jarh wa Ta’dil; 
4. Ilmu Fiqh; pengetahuannya mengenai mazhab-mazhab ahli fiqh beserta perbandingannya. Ia memahami fiqhnya Abu Hanifah, begitu pula fiqh Malik, Al-Tsauri serta Al-Syafi’i. Ia juga menguasai fiqh para ahli hadis, seperti Ahmad ibn Hanbal, Ishak ibn Rahawaih, dan lain-lain.[5] Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya.
Nama Guru dan Murid Imam At-Tirmidzi
Guru-gurunya amat banyak jumlahnya, diantaranya ialah: Muhammad ibn Basyar Bundar (167-252 H), Muhammad ibn Al-Mutsanna Abu Musa (167-252 H), Ziyad ibn Yahya Al-Hassani (w. 254 H), Abbas ibn Abdul ‘Azhim Al-‘Anbari (w. 246 H), Abu Sa’id Al-Asyaj Abdullah ibn Sa’id Al-Kindi (w. 257 H.), Abu Hafsh ‘Amr ibn ‘Ali Al-Fallas (160-249 H), Ya’qub ibn Ibrahim Al-Dauraqi (166-252), Muhammad ibn Ma’mar Al-Qaisi Al-Bahrani (w. 256 H), dan Nashr ibn ‘Ali Al-Jahdhami (w. 250 H).[6]
Mereka yang disebut di atas juga merupakan guru dari para penulis kutub al-sittah. Sedang gurunya yang lain ialah: Abdullah ibn Muawiyah Al-Jumahi (w. 243 H), Ali ibn Hujr Al-Marwazi (w. 244 H), Suwaid ibn Nasr ibn Suwaid Al-Marwazi (w. 240 H), Qutaibah ibn Sa’id Al-Tsaqafi Abu Raja’ (150-240 H), Abu Mush’ab Ahmad ibn Abi Bakr Al-Zuhri Al-Madini (150-242 H), Muhammad bn Abdul Malik ibn Abi Syawarib (w. 244 H), Ibrahim ibn Abdullah ibn Hatim Al-Harawi (178-244 H), Ismail ibn Musa al-Fazari Al-Suddi (w. 245 H),[7] Ishaq ibn Rahawaih, Muhammad ibn Amr al-Sawwaq, al-Balki, Muhammad ibn Gailan, Yusuf ibn Isa, dan lain-lain. Selain guru-guru di atas, Abu Isa juga belajar kepada Tirmidzi juga belajar kepada Imam al-Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Dawud.[8]
Karena kehebatan dalam disiplin ilmu hadis, tak pelak lagi, banyak orang yang ingin menyerap dan mengkaji kedalaman pengetahuannya dengan menjadi muridnya. Mereka yang tercatat mengambil hadits dari Imam al-Tirmidzi di antaranya: Makhul bin al Afdhal, Muhammad bin Mahmud Anbar, Hammad bin Syakir, Abd bin muhammad al-Nafsiyyun, al-Haisam bin Kulaib al-Syasyi, dan Ahmad bin Yusuf al-Nasafi, Abi al-Abbas al-Mahbubi Muhammad bin Ahmad bin Mahbub al-Marwazi, dan lain-lain.
Daftar Karya Imam At-Tirmidzi
1. Kitab al-Jami’ al-Shahih, yang dikenal juga dengan al-Jami' al-Tirmidzi, atau lebih populer lagi dengan Sunan al-Tirmidzi.
2. Kitab ‘Ilal, kitab ini terdapat pada akhir kitab al-Jami’ al-Tirmidzi.
3. Kitab Tarikh.
4. Kitab al-Sama`il al-Nabawiyyah.
5. Kitab al-Zuhud.
6. Kitab al-Asma’ wa al-Kuna.
7. Kitab al-‘Ilal al-Kabir.
8. Kitab al-Asma’ al-Sahabah.
9. Kitab al-Asma’ al-Mauqufat.
Di antara karya al-Tirmidzi yang paling monumental serta tersebar luas adalah kitab al-Jami` al-Sahih atau Sunan al-Tirmidzi, sementara kitab-kitab yang lain, seperti: al-Zuhud, dan al-Asma’ wa al-Kuna kurang begitu dikenal di kalangan masyarakat umum.
Begitu populernya kitab al-Jami’ al-Shahih, maka tak sedikit kitab syarah yang bermunculan untuk mensyarah kitab tersebut. Di antaranya:
1. Aridat al-Ahwadzi, ditulis oleh Abu Bakar ibn al-`Arabi al-Maliki.
2. Al-Munqihu al-Syazi fi Syarh al-Tirmidzi oleh Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad yang terkenal dengan Ibn Sayyid al-Nas al-Syafi’.
3. Syarh Ibn Sayyid al-Nas disempurnakan oleh al-Hafiz Zainuddin al-‘Iraqi.
4. Syarh al-Tirmidzi oleh al-Hafiz Abu al-Faraj Zainuddin `Abd al-Rahman ibn Syihabuddin Ahmad ibn Hasan ibn Rajab al-Bagdadi al-Hanbali.
5. Al-Lubab oleh al-Hafiz Ibn Hajar al-‘Asqalani.
 
6. Al-‘Urf al-Syazi’ ala Jami’ al-Tirmidzi oleh al-Hafiz Umar ibn Ruslan al-Bulqini.
7. Qat al-Mugtadi ‘ala Jami’ al-Tirmidzi oleh al-Hafiz al-Suyuti.
8. Ta’liq al-Tirmidzi dan Syarh al-Ahwazi oleh Muhammad Tihir.
9. Syarh Abu Tayyib al-Sindi.
10. Syarh Sirajuddin Ahmad al-Sarkandi.
11. Syarh Abu al-Hasan ibn `Abd al-Hadis al-Sindi.
12. Bahr al-Mazi Mukhtasar Sahih al-Tirmizi oleh Muhammad Idris’ Abd al-Ra'uf al-Marbawi al-Azhari.
13. Tuhfat al-Ahwadzi oleh Abu ‘Ali Muhammad Abd al-Rahman ibn ‘Abd al-Rahim al-Mubarakfuri.
14. Syarh Sunan al-Tirmidzi dengan al-Jami’ al-Shahih oleh Ahmad Muhammad Syakir.
15. Al-‘Urf al-Syazi ala Jami’ al-Tirmidzi oleh Muhammad Anwar Syah al-Kasymiri.[9]
Hari Wafat Imam At-Tirmidzi
Ada perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai kapan tepatnya Imam al-Tirmidzi meninggal dunia. Al-Sam'ani dalam kitabnya al-Ansab menuturkan bahwa beliau wafat di desa Bugh pada tahun 275 H. Pendapat ini diikuti oleh Ibn Khallikan. Sementara yang lain mengatakan beliau wafat pada tahun 277 H. 
Sedangkan pendapat yang benar adalah sebagaimana dinukil oleh al-hafidh al-Mizzi dalam al-Tahdzib dari al-Hafidh Abu al-Abbas Ja'far bin Muhammad bin al-Mu'tazal-Mustaghfiri yang mengatakan “Abu Isa al-Tirmidzi wafat di daerah Tirmidz pada malam Senin 13 Rajab 279 H. Beliau wafat pada usia 70 tahun dan dimakamkan di Uzbekistan.“[10] 
Penilaian Ulama’ Terhadap Imam AT-Tirmidzi
Para ulama besar telah memuji dan menyanjungnya, dan mengakui akan kemuliaan dan keilmuannya. Diantaranya ialah Al Hakim, yang mengatakan "Saya pernah mendengar Umar bin Alak mengomentari pribadi Al Tirmidzi sebagai berikut; kematian Imam Bukhari tidak meninggalkan muridnya yang lebih pandai di Khurasan selain daripada Abu 'Isa Al-Tirmidzi dalam hal luas ilmunya dan hafalannya."
Abu Ya’la al-Khalili dalam kitabnya ‘Ulumul Hadis menerangkan; Muhammad bin ‘Isa al-Tirmidzi adalah seorang penghafal dan ahli hadits yang baik yang telah diakui oleh para ulama. Ia memiliki kitab Sunan dan kitab Al-Jarh wat-Ta’dil. Hadis-hadisnya diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama lain. Ia terkenal sebagai seorang yang dapat dipercaya, seorang ulama dan imam yang menjadi panutan dan yang berilmu luas. Kitabnya Al-Jami’ Al-Shahih sebagai bukti atas keagungan derajatnya, keluasan hafalannya, banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang hadits yang sangat mendalam.
Al-Dzahabi dalam Tadzkirah Al-Huffazh, Al-Shadafi dalam Nakt Al-Himyat dan Al-Mizzi dalam Al-Tahdzib telah mengutip pendapat Al-Hafiz Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, kritikus hadith, yang menggolongkan Al-Tirmidzi ke dalam kelompok “tsiqah” atau orang-orang yang dapat dipercayai dan kukuh hafalannya, dan berkata: "Al-Tirmidzi adalah salah seorang ulama yang mengumpulkan hadis, menyusun kitab, menghafal hadis dan bermuzakarah (berdiskusi) dengan para ulama.”[11]
Salah satu bukti kekuatan dan cepat hafalannya ialah kisah berikut yang dikemukakan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahdzib al-Tahdzib-nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah bin Abu Dawud, yang berkata: "Saya mendengar Abu ‘Isa al-Tirmidzi berkata: Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Makkah, dan ketika itu saya telah menulis dua jilid berisi hadis-hadis yang berasal dari seorang guru. 
Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Saya mengira bahwa "dua jilid kitab" itu ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. 
Ketika saya telah bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya untuk mendengar hadits, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan hadits yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Demi melihat kenyataan ini, ia berkata: ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya. ‘Coba bacakan!’ suruhnya. Lalu aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. 
Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh buah hadits yang tergolong hadits-hadits yang sulit atau garib, lalu berkata: ‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi,’ Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai; dan ia berkomentar: ‘Aku belum pernah melihat orang seperti engkau."[12]
Sementara itu, pujian lain disampaikan oleh Imam al-Hakim Abu Ahmad: “Sepeninggal Imam Bukhari, tiada ulama’ yang menyamai ilmu, kewara’an, dan kezuhudannya di Khurasan kecuali Abu Isa Al-Tirmidzi.”[13]
Semua ini membuktikan bahwa sosok Imam al-Tirmidzi memang pantas mendapat sanjungan. Namun demikian, ternyata ada sementara ulama yang menganggap bahwa Imam al-Tirmidzi merupakan sosok yang tidak diketahui asal-muasal dan jatidirinya (majhul al-hal), sehingga –secara otomatis– periwayatannya ditolak begitu saja. Pandangan seperti inilah yang antara lain dilontarkan Imam Ibn Hazm al-Dhahiri.
Statemen Ibn Hazm al-Dhahiri yang cukup kontroversial dan bertolak belakang dengan pandangan mayoritas ulama ini telah membuat geger, terutama di lingkungan ulama’ hadis. Bahkan Ibn Hazm banyak mendapat kecaman, antara lain datang dari Imam Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab Tahdzib al-Tahdzib. Dalam kitab itu sikap Ibn Hazm al-Dhahiri dianggap sebagai satu wujud kesombongan terhadap kedudukan para ulama yang telah masyur.
Imam al-Dzahabi dalam kitabnya Mizan al-I'tidal fi Naqd al-Rijal, mengatakan, “Al-Tirmidzi adalah al-hafizh (ahli hadis) yang kondang, penulis kitab al-Jami' terpercaya dan disepakati periwayatannya.”Sedangkan pandangan Ibn Hazm al-Dhahiri tentang kemajhulan Tirmidzi disebabkan ia tidak mengenal dan mengetahui pribadi Tirmidzi beserta hasil-hasil karyanya, seperti al-Jami' dan al- Ilal.[14] Sejarah juga membuktikan, pada saat itu kitab Al-Jami’ Al-Shahih milik Imam Tirmidzi belum sempat masuk ke wilayah Andalusia, Spanyol, negeri tempat Ibn Hazm bermukim.[15]
Ibn Katsir dalam karyanya al-Bidayah wa al-Nihayah menuturkan, “Pandangan Ibn Hazm tentang kemajhulan al-Tirmidzi tidak akan mengurangi keunggulannya. Sikap ini tidak akan merendahkan pribadi al-Tirmidzi di kalangan para ulama. Bahkan sebaliknya akan menurunkan derajat Ibn Hazm sendiri dalam pandangan para ulama.”
Sumber Rujukan
[1] Abu Isa Muhammad bin Isa Al-Tirmidzi, Al-Jâmi’ Al-Shahîh (Beirut: Daar Al-Ihya’ Al-Turats Al-‘Arabi, tt) 
[2] Sedang menurut Al-Dzahabi, ia lahir tahun 210 H. Lihat dalam CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif. 
[3] CD-ROM Mausu’ah Al-Hadis Al-Syarif. 
[4] CD-ROM Mausu’ah Al-Hadis Al-Syarif. 
[5] CD-ROM Mausu’ah Al-Hadis Al-Syarif. 
[6] Abu Isa Al-Tirmidzi, Al-Jami’ Al-Shahih (Beirut: Daar Al-Ihya’ Al-Turats Al-‘Arabi, tt), hlm. 81. 
[7] Abu Isa Al-Tirmidzi, Al-Jami’ Al-Shahih, hlm. 82. 
[8] Syamsuddin Al-Dzahabi, Siyar al-A’lam al-Nubala (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1990), juz III hlm. 271. 
[9] www.attarefe.islamlight.net, diakses tanggal 8 Maret 2009. 
[10] Muhammad Ai Mustafa Ya’kub, “Imam Al-Tirmidzi”, dalam http://halaqah-online.com, diakses tanggal 8 Maret 2009. Lihat juga CD Mausu’ah Al-Hadis 
[11] http://www.al-ahkam.net. Cek ke Abu Isa Al-Tirmidzi, Al-Jami’ Al-Shahih,juz I, hlm. 85. 
[12] CD Mausu’ah Al-Hadis Al-Syarif 
[13] Dzulmani, Mengenal Kitab-Kitab Hadis (Yogyakarta: Insan Madani, 2008), hlm. 83. Cek ke Abu Isa Al-Tirmidzi, Al-Jami’ Al-Shahih, juz I hlm. 86-87. 
[14] Muhammad Al-Dzahabi, Mizan al-I'tidal fi Naqd al-Rijal (Beirut: Matba’ah ‘Isa al-Babi al-Halabi, 1963), juz III hlm. 278. 
[15] Suryadi, “Kitab Sunan Al-Tirmidzi” ... , hlm. 107.

imam abu daud

Nama lengkap Abu Dawud ialah Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin Syidad bin Amar al-Azdi as-Sijistani.Beliau adalah Imam dan tokoh ahli hadits, serta pengarang kitab sunan. Beliau dilahirkan tahun 202 H. di Sijistan.

Sejak kecil Abu Dawud sangat mencintai ilmu dan sudah bergaul dengan para ulama untuk menimba ilmunya. Sebelum dewasa, dia sudah mempersiapkan diri untuk melanglang ke berbagai negeri. Dia belajar hadits dari para ulama yang ditemuinya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan negeri lainnya. Pengemba-raannya ke beberapa negeri itu menunjang dia untuk mendapatkan hadits sebanyak-banyaknya. Kemudian hadits itu disaring, lalu ditulis pada kitab Sunan.

Abu Dawud sudah berulang kali mengunjungi Bagdad. Di kota itu, dia me-ngajar hadits dan fiqih dengan menggunakan kitab sunan sebagai buku pe-gangan. Kitab sunan itu ditunjukkan kepada ulama hadits terkemuka, Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa kitab itu sangat bagus. Dan kitabnya “Sunan Abu Dawud” dianggap sebagai kitab ketiga dari Kutubussittah setelah Imamal-Bukhari dan ImamMuslim.

Guru-gurunya

Jumlah guru Imam Abu Dawud sangat banyak. Di antara gurunya yang paling menonjol antara lain: Ahmad bin Hanbal, al-Qan’abi, Abu Amar ad-Darir, Abu Daud bin Ibrahim, Abdullah bin raja’, Abdul Walid at-Tayalisi dan lain--lain. Sebagian gurunya ada yang menjadi guru Bukhari dan Abu Daud, seperti Ahmad bin Hanbal, Usman bin Abu Syaibah dan Qutaibah bin sa’id.

Murid-muridnya

Ulama yang pernah menjadi muridnya dan yang meriwayatkan hadits-nya antara lain Abu Isa at-Tirmizi, Abu Abdur Rahman an-Nasa’i, putranya sendiri Abu Bakar bin Abu Dawud, Abu Awana, Abu Sa’id aI-Arabi, Abu Ali al-Lu’lu’i, Abu Bakar bin Dassah, Abu Salim Muhammad bin Sa’id al-Jaldawi dan lain-lain.

Sifat dan kepribadiannya

Abu Dawud termasuk ulama yang mencapai derajat tinggi dalam beribadah, kesucian diri, kesalihan dan wara’ yang patut diteladani.

Sebagian ulama berkata: "Perilaku Abu Dawud, sifat dan kepribadiannya menyerupai Imam Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad bin Hanbal menyerupai Waki’; seperti Sufyan as-Sauri, Sufyan seperti Mansur, Mansur menyerupai Ibrahim an-Nakha’i, Ibrahim menyerupai Alqamah. "Alqamah seperti Ibnu Mas’ud, dan Ibnu Mas’ud seperti Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Sifat dan kepribadian seperti ini menunjukkan kesempurnaan beragama, prilaku dan akhlak Abu Dawud.Abu Dawud mempunyai falsafah tersendiri dalam berpakaian. Salah satu lengan bajunya lebar dan satunya lagi sempit. Bila ada yang bertanya, dia menjawab: "Lengan yang lebar ini untuk membawa kitab, sedang yang satunya tidak diperlukan. Kalau dia lebar, berarti pemborosan."

Ulama memuji Abu Dawud

Abu Dawud adalah seorang tokoh ahli hadits yang menghafal dan memahami hadits beserta illatnya. Dia mendapatkan kehormatan dari para ulama, terutama dari gurunya, Imam Ahmad bin Hanbal.

Al-Hafiz Musa bin Harun berkata: "Abu Dawud diciptakan di dunia untuk Hadits, dan di akhirat untuk surga. Aku tidak pernah melihat orang yang lebih utama dari dia." 

Sahal bin Abdullah at-Tastari, seorang sufi yang alim mengunjungi Abu Dawud dan berkata: "Saya adalah Sahal, datang untuk mengunjungimu." Abu Dawud menyambutnya dengan hormat dan mempersilakan duduk. Lalu Sahal berkata: "Abu Dawud, saya ada keperluan." Dia bertanya: "Keperluan apa?" Sahal menjawab: "Nanti saya katakan, asalkan engkau berjanji memenuhi permintaanku." Abu Dawud menjawab: "Jika aku mampu pasti kuturuti." Lalu Sahal mengatakan: "Julurkanlah lidahmu yang engkau gunakan meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam sehingga aku dapat menciumnya" Lalu Abu Dawud menjulurkan lidahnya kemudian dicium Sahal.

Ketika Abu Dawud menyusun kitab sunan, Ibrahim al-Harbi, seorang Ulama hadits, berkata: "Hadits telah dilunakkan bagi Abu Dawud, sebagai-mana besi dilunakkan untuk Nabi Dawud." Ungkapan itu adalah perumpama-an bagi keistimewaan seorang ahli hadits. Dia telah mempermudah yang rumit dan mendekatkan yang jauh, serta memudahkan yang sukar.
Seorang Ulama hadits dan fiqih terkemuka yang bermazhab Hanbali, Abu Bakar al-Khallal, berkata: "Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’as as-Sijistani adalah Imam terkemuka pada jamannya, penggali beberapa bidang ilmu sekaligus mengetahui tempatnya, dan tak seorang pun di masanya dapat me-nandinginya.”

Abu Bakar al-Asbihani dan Abu Bakar bin Sadaqah selalu menyanjung Abu Dawud, dan mereka memujinya yang belum pernah diberikan kepada siapa pun di masanya.Mazhab yang diikuti Abu Dawud

Syaikh Abu Ishaq as-Syairazi dalam Tabaqatul Fuqaha menggolong-kan Abu Dawud sebagai murid Imam Ahmad bin Hanbal. Begitu pula Qadi Abdul Husain Muhammad bin Qadi Abu Ya’la (wafat tahun 526 H.) yang termaktub dalam kitab Tabaqatul Hanabilah. Penilaian ini disebabkan, Imam Ahmad adalah guru Abu Dawud yang istimewa. Ada yang mengatakan bahwa dia bermazhab Syafi’i.

Memuliakan ilmu dan ulama

Sikap Abu Dawud yang memuliakan ilmu dan ulama ini dapat diketahui dari kisah yang diceritakan oleh Imam al-Khattabi dari Abu Bakar bin Jabir, pembantu Abu Dawud. Dia berkata: "Aku bersama Abu Dawud tinggal di Bagdad. Di suatu saat, ketika kami usai melakukan shalat magrib, tiba-tiba pintu rumah diketuk orang, lalu kubuka pintu dan seorang pelayan melaporkan bahwa Amir Abu Ahmad al-Muwaffaq minta ijin untuk masuk. Kemudian aku memberitahu Abu Dawud dan ia pun mengijinkan, lalu Amir duduk. Kemudian Abu Dawud bertanya: "Apa yang mendorong Amir ke sini?" Amir pun menjawab "Ada tiga kepentingan". "Kepentingan apa?" Tanya Abu Dawud. Amir mengatakan: "Sebaiknya anda tinggal di Basrah, supaya para pelajar dari seluruh dunia belajar kepadamu. Dengan demikian kota Basrah akan makmur lagi. Karena Basrah telah hancur dan ditinggalkan orang akibat tragedi Zenji."

 Abu Dawud berkata: "itu yang pertama, lalu apa yang kedua?" Amir menjawab: "Hendaknya anda mau mengajarkan sunan kepada anak-anakku." "Yang ketiga?" tanya Abu Dawud. "Hendaklah anda membuat majlis tersendiri untuk mengajarkan hadits kepada keluarga khalifah, sebab mereka enggan duduk bersama orang umum." Abu Dawud menjawab: "Permintaan ketiga tidak bisa kukabulkan. Sebab derajat manusia itu, baik pejabat terhormat maupun rakyat jelata, dalam menuntut ilmu dipandang sama." Ibnu Jabir menjelaskan: "Sejak itu putra-putra khalifah menghadiri majlis taklim, duduk bersama orang umum, dengan diberi tirai pemisah".

Begitulah seharusnya, ulama tidak mendatangi raja atau penguasa, tetapi merekalah yang harus mengunjungi ulama. Itulah kesamaan derajat dalam mencari ilmu pengetahuan.

Wafatnya

Setelah hidup penuh dengan kegiatan ilmu, mengumpulkan dan menyebarluaskan hadits, Abu Dawud wafat di Basrah, tempat tinggal atas per-mintaan Amir sebagaimana yang telah diceritakan. la wafat tanggal 16 Syawal 275 H. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan ridanya kepada-nya.

Putra Abu Dawud

Imam Abu Dawud meninggalkan seorang putra bernama Abu Bakar Abdullah bin Abu Dawud. Dia adalah seorang Imam hadits putra seorang imam hadits pula. Dilahirkan tahun 230 H. dan wafat tahun 316 H.

Kitab karangan Abu Dawud

Abu Dawud mempunyai karangan yang banyak, antara lain:
1. Kitab as-Sunan
2. Kitab al-Marasil
3. Kitab al-Qadar
4. An-Nasikh Wal Mansukh
5. Fada’ilul A’mal
6. Kitab az-Zuhud
7. Dalailun Nubuwah
8. Ibtida’ul Wahyu
9. Ahbarul Khawarij
Di antara kitab tersebut, yang paling populer adalah kitab as-Sunan, yang biasa dikenal dengan Sunan Abu Dawud.

imam muslim

Imam Muslim adalah ahli hadits (perowi = periwayat) yang sangat masyhur di samping Imam Bukhori. Hadits-hadits yang diriwayatkannya mempunyai derajat yang tinggi sehingga digolongkan dalam hadits shohih. Ia mempelajari hadits sejak kecil dan bepergian untuk mencarinya keberbagai kota besar. Banyak sekali ulama hadits memujinya, Ahmad bin Salama berkata:” Abu Zur’ah dan Abu Hatim mendahulukan Muslim atas orang lain dalam bidang mengetahui hadits shahih.
Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Imam Muslim dilahirkan di Naisabur tahun 202 H atau 817 M. Naisabur, saat ini termasuk wilayah Rusia. Dalam sejarah Islam, Naisabur dikenal dengan sebutan Maa Wara’a an Nahr, daerah-daerah yang terletak di belakang Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah.
Naisabur pernah menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan tidak kurang 150 tahun pada masa Dinasti Samanid. Tidak hanya sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan, kota Naisabur juga dikenal saat itu sebagai salah satu kota ilmu, bermukimnya ulama besar dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah.
Kecenderungan Imam Muslim kepada ilmu hadits tergolong luar biasa. Keunggulannya dari sisi kecerdasan dan ketajaman hafalan, ia manfaatkan dengan sebaik mungkin. Di usia 10 tahun, Muslim kecil sering datang berguru pada Imam Ad Dakhili, seorang ahli hadits di kotanya. Setahun kemudian, Muslim mulai menghafal hadits dan berani mengoreksi kekeliruan gurunya ketika salah dalam periwayatan hadits.
Seperti orang yang haus, kecintaanya dengan hadits menuntun Muslim bertuangalang ke berbagai tempat dan negara. Safar ke negeri lain menjadi kegiatan rutin bagi Muslim untuk mendapatkan silsilah yang benar sebuah hadits.
Dalam berbagai sumber, Muslim tercatat pernah ke Khurasan. Di kota ini Muslim bertemu dan berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih. Di Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan. Pada rihlahnya ke Makkah untuk menunaikan haji 220 H, Muslim bertemu dengan Qa’nabi,- muhaddits kota ini- untuk belajar hadits padanya.
Selain itu Muslim juga menyempatkan diri ke Hijaz. di kota Hijaz ia belajar kepada Sa’id bin Mansur dan Abu Mas ‘Abuzar. Di Irak Muslim belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah. Kemudian di Mesir, Muslim berguru kepada ‘Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya. Termasuk ke Syam, Muslim banyak belajar pada ulama hadits kota itu.
Tidak seperti kota-kota lainnya, bagi Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah Imam Muhaddits ini berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama ahli hadits. Terakhir Imam Muslim berkunjung pada 259 H. Saat itu, Imam Bukhari berkunjung ke Naisabur. Oleh Imam Muslim kesempatan ini digunakannya untuk berdiskusi sekaligus berguru pada Imam Bukhari.
Berkat kegigihan dan kecintaannya pada hadits, Imam Muslim tercatat sebagai orang yang dikenal telah meriwayatkan puluhan ribu hadits. Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadits pada Universitas Damaskus, Syria, menyebutkan, hadits yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan.
Bila dihitung dengan pengulangan, lanjutnya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sedang menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim berjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah hadits yang ditulis dalam Shahih Muslim merupakan hasil saringan sekitar 300.000 hadits. Untuk menyelasekaikan kitab Sahihnya, Muslim membutuhkan tidak kurang dari 15 tahun.
Imam Muslim dalam menetapkan kesahihan hadits yang diriwayatkkanya selalu mengedepankan ilmu jarh dan ta’dil. Metode ini ia gunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu hadits. Selain itu, Imam Muslim juga menggunakan metode sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat). Dalam kitabnya, dijumpai istilah haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarani (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), maupun qaalaa (ia berkata). Dengan metode ini menjadikan Imam Muslim sebagai orang kedua terbaik dalam masalah hadits dan seluk beluknya setelah Imam Bukhari.
Selain itu, Imam Muslim dikenal sebagai tokoh yang sangat ramah. Keramahan yang dimilikinya tidak jauh beda dengan gurunya, Imam Bukhari. Dengan reputasi ini Imam Muslim oleh Adz-Dzahabi disebutan sebagai Muhsin min Naisabur (orang baik dari Naisabur).
Maslamah bin Qasim menegaskan, “Muslim adalah tsiqqat, agung derajatnya dan merupakan salah seorang pemuka (Imam).” Senada dengan Maslamah bin Qasim, Imam An-Nawawi juga memberi sanjungan: “Para ulama sepakat atas kebesarannya, keimanan, ketinggian martabat, kecerdasan dan kepeloporannya dalam dunia hadits.”
Seperti halnya Imam Bukhari dengan Al-Jami’ ash-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari, Imam Muslim juga memiliki kitab munumental, kitab Shahih Muslim. Dibanding kitab-kitab hadits shahih karya Imam Muslim lainnya, Shahih Muslim yang memuat 3.033 hadits memiliki karakteristik tersendiri. Imam Muslim banyak memberikan perhatian pada penjabaran hadits secara resmi. Imam Muslim bahkan tidak mencantumkan judul-judul pada setiap akhir dari sebuah pokok bahasan.
Sebenarnya kitab Shahih Muslim dipublikasikan untuk Abu Zur’ah, salah seorang kritikus hadits terbesar, yang biasanya memberikan sejumlah catatan mengenai cacatnya hadits. Lantas, Imam Muslim kemudian mengoreksi cacat tersebut dengan membuangnya tanpa argumentasi. Karena Imam Muslim tidak pernah mau membukukan hadits-hadits yang hanya berdasarkan kriteria pribadi semata, dan hanya meriwayatkan hadits yang diterima oleh kalangan ulama. Sehingga hadits-hadits Muslim terasa sangat populis.
Sebenarnya para ulama berbeda pendapat mana yang lebih unggul antara Shahih Muslim dengan Shahih Bukhari. Jumhur Muhadditsun berpendapat, Shahihul Bukhari lebih unggul, sedangkan sejumlah ulama Marokko dan yang lain lebih mengunggulkan Shahih Muslim. Perbedaan ini terjadi bila dilihat dari sisi pada sistematika penulisannya serta perbandingan antara tema dan isinya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengulas kelebihan Shahih Bukhari atas Shahih Muslim, antara lain, karena Al-Bukhari mensyaratkan kepastian bertemunya dua perawi yang secara struktural sebagai guru dan murid dalam hadits Mu’an’an agar dapat dipastikan sanadnya bersambung. Sementara Imam Muslim menganggap cukup dengan “kemungkinan” bertemunya kedua rawi dengan tidak adanya tadlis.
Al-Bukhari mentakhrij hadits yang diterima para perawi tsiqqat derajat utama dari segi hafalan dan keteguhannya. Walaupun juga mengeluarkan hadits dari rawi derajat berikutnya dengan sangat selektif. Sementara Muslim, lebih banyak pada rawi derajat kedua dibanding Bukhari. Selain itu, kritik yang ditujukan kepada perawi jalur Muslim lebih banyak dibanding al-Bukhari.
Sementara pendapat yang berpihak pada keunggulan Shahih Muslim beralasan, seperti yang dijelaskan Ibnu Hajar, Muslim lebih berhati-hati dalam menyusun kata-kata dan redaksinya. Muslim juga tidak membuat kesimpulan dengan memberi judul bab seperti yang dilakukan Bukhari lakukan. Imam Muslim wafat pada Ahad sore, pada tanggal 24 Rajab 261 H dengan mewariskan sejumlah karyanya yang sangat berharga bagi kaum Muslim dan dunia Islam.

Akhir Hayat Imam Muslim

Setelah mengarungi kehidupan yang penuh berkah, Muslim wafat pada hari Ahad sore, dan di makamkan di kampung Nasr Abad daerah Naisabur pada hari Senin, 25 Rajab 261 H. dalam usia 55 tahun. Selama hidupnya, Muslim menulis beberapa kitab yang sangat bermanfaat

Para Guru Imam Muslim

Imam Muslim mempunyai guru hadits sangat banyak sekali, diantaranya adalah: Usman bin Abi Syaibah, Abu Bakar bin Syaibah, Syaiban bin Farukh, Abu Kamil al-Juri, Zuhair bin Harab, ’Amar an-Naqid, Muhammad bin Musanna, Muhammad bin Yasar, Harun bin Sa’id al-Aili, Qutaibah bin sa’id dan lain sebagainya.

Murid yang meriwayatkan Haditsnya

Banyak para ulama yang meriwayatkan hadits dari Muslim, bahkan di antaranya terdapat ulama besar yang sebaya dengan dia. Di antaranya, Abu Hatim ar-Razi, Musa bin Harun, Ahmad bin Salamah, Abu Bakar bin Khuzaimah, Yahya bin Said, Abu Awanah al-Isfarayini, Abi isa at-Tirmidzi, Abu Amar Ahmad bin al-Mubarak al-Mustamli, Abul Abbas Muhammad bin Ishaq bin as-Sarraj, Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan al-Faqih az-Zahid. Nama terakhir ini adalah perawi utama bagi Shahih Muslim. Dan masih banyak lagi muridnya yang lain.

Pujian para Ulama Terhadap Imam Muslim

Apabila Imam Bukhari sebagai ahli hadits nomor satu, ahli tentang ilat–ilat (cacat) hadits dan seluk beluk hadits, dan daya kritiknya sangat tajam, maka Muslim adalah orang kedua setelah Bukhari, baik dalam ilmu, keistimewaan dan kedudukannya. Hal ini tidak mengherankan, karena Muslim adalah salah satu dari muridnya.
Al-Khatib al-Bagdadi berkata: “Muslim telah mengikuti jejak Bukhari, mengembangkan ilmunya dan mengikuti jalannya.” Pernyataan ini bukanlah menunjukkan bahwa Muslim hanya seorang pengikut saja. Sebab ia mempunyai ciri khas tersendiri dalam menyusun kitab, serta memperkenalkan metode baru yang belum ada sebelumnya.
Imam Muslim mendapat pujian dari ulama hadis dan ulama lainnya. Al–Khatib al-Bagdadi meriwayatkan dari Ahmad bin Salamah, katanya “Saya me-lihat Abu Zur’ah dan Abu Hatim selalu mengutamakan Muslim bin al-Hajjaj dari pada guru-guru hadits lainnya.
Ishak bin Mansur al-Kausaj berkata kepada Muslim: “Kami tidak akan kehilangan kebaikan selama Allah menetapkan engkau bagi kaum muslimin.”
Ishak bin Rahawaih pernah mengatakan: “Adakah orang lain seperti Muslim?”. Ibnu Abi Hatim mengatakan: “Muslim adalah penghafal hadits. Saya menulis hadits dari dia di Ray.” Abu Quraisy berkata: “Di dunia ini, orang yang benar-benar ahli hadits hanya empat orang. Di antaranya adalah Muslim.” Maksudnya, ahli hadits terkemuka di masa Abu Quraisy. Sebab ahli hadits itu cukup banyak jumlahnya.

Kitab tulisan Imam Muslim

Imam muslim mempunyai kitab hasil tulisannya yang jumlahnya cukup banyak. Di antaranya:
  1. Al-Jamius Syahih
  2. Al-Musnadul Kabir Alar Rijal
  3. Kitab al-Asma’ wal Kuna
  4. Kitab al-Ilal
  5. Kitab al-Aqran
  6. Kitab Sualatihi Ahmad bin Hanbal
  7. Kitab al-Intifa’ bi Uhubis Siba’
  8. Kitab al-Muhadramain
  9. Kitab Man Laisa Lahu illa Rawin Wahidin
  10. Kitab Auladus Sahabah
  11. Kitab Auhamul Muhadisin.
Kitabnya yang paling terkenal sampai kini ialah Al-Jamius Shahih atau Shahih Muslim

imam hambali

Nama dan Kelahiran
Nama beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Asy Syaibani. Beliau dilahirkan di Baghdad tahun 164 H. Ayah beliau meninggal saat beliau berumur 3 tahun. Lalu beliau diasuh oleh Ibunya.
Perjalanan Menuntut Ilmu
Saat masih belia, beliau menghadiri majelis qadhi Abu Yusuf. Kemudian beliau fokus belajar hadits. Saat itu umur beliau sekitar 16 tahun. Kemudian beliau haji beberapa kali, kemudian tinggal di Makah dua kali. Kemudian beliau safar menemui Abdurrozaq di Yaman dan belajar darinya. Beliau telah berkelana ke negeri-negeri dan penjuru dunia. Beliau mendengar hadits dari ulama-ulama besar saat itu. Mereka (para ulama) bangga dan memuliakan beliau. [Lihat bidayah wa nihayah, hal 14/381-383]
Ibnu Jauzi berkata, “Ahmad (bin Hanbal) –semoga Allah meridhoinya- mulai menuntut ilmu dari para masyayikh di Baghdad. Lalu beliau pergi ke Kufah, Bashroh, Makah, Madinah, Yaman, Syam dan Jazirah. Beliau menulis dari para ulama setiap negeri” [Manaqib Imam Ahmad hal.46]
Keilmuan Beliau
Imam Ahmad memiliki ilmu yang sangat luas. Berikut ini beberapa perkataan ulama tentangnya. Ibrahim al Harbiy rahimahullah berkata, “Saya melihat Ahmad bin Hanbal seolah-olah Allah mengumpulkan pada dirinya ilmu orang yang terdahulu dan yang terakhir pada setiap bidang ilmu. Dia berkata sesuai yang dikehendakinya dan menahan yang dikehendakinya
Ahmad bin Sa’id Ar Roziy berkata, “Saya belum pernah melihat orang yang lebih hafal hadits Rasulullah dan lebih memahami fikih dan maknanya dari Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal” [Manaqib Imam Ahmad hal.90]
Abu Zur’ah berkata, “Ahmad bin Hanbal hafal satu juta hadits”. Lalu dikatakan kepadanya, “Bagaimana Anda mengetahui?” Dia (Abu Zur’ah) menjawab, “Saya belajar padanya, saya mengambil darinya beberapa bab
Amal dan Akhlaq beliau
Dahulu para salafus salih belajar ilmu dan amal secara bersamaan. Mereka belajar sekaligus mengamalkan ilmu mereka. Dikatakan dalam sebuah perkataan hikmah ‘Ilmu tanpa amal seperti pohon tanpa buah’. Allah berfirman, “Dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al Baqoroh: 282).  Begitu pula Imam Ahmad. Beliau dikenal dengan ilmu yang luas, amal salih dan akhlaq yang utama.
Ibnu Jauzi menyembutkan, Abdullah bin Ahmad (bin Hanbal) berkata, “Sesungguhnya bapakku adalah orang yang paling sabar diatas tauhid. Tidak melihatnya seorang pun kecuali dia di masjid atau menghadiri jenazah atau mengunjungi orang yang sakit. Beliau tidak suka berjalan di pasar
Beliau juga mengatakan “Dahulu bapakku sholat dalam sehari semalam sebanyak 300 rekaat, setelah beliau sakit karena cambukan (saat dipenjara-pentj) maka hal itu melemahkannya. Beliau sholat sehari semalam sebanyak 150 rekaat. Saat itu umur beliau mendekati 80 tahun. Beliau membaca tiap hari sepertujuh dari al Qur’an, sehingga katam dalam tiap tujuh hari. Beliau memiliki kataman (dalam sholat malam) setiap tujuh malam, selain (yang dibaca) pada sholat siang. Setelah sholat Isya’ beliau tidur sebentar lalu berdiri sholat sampai subuh dan berdo’a.”
Hal luar biasa yang menunjukkan keistiqomahan beliau adalah saat terjadi fitnah khalqul qur’an. Yaitu fitnah dimana beliau dan para ulama’ yang lainnya dipaksa untuk mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluq. Padahal al Qur’an adalah kalamullah (firman Allah), bukan makhluq. Beliau tetap istiqomah dan sabar meski dipenjara dan dicambuk. Fitnah ini berlangsung dalam 3 masa kekhalifahan secara berturut-turut: Al Ma’mun, Al Mu’tashim dan Al Watsiq. Alhamdulillah Allah menolong beliau dan menunjukkan beliaulah yang diatas kebenaran.
Madzab beliau dan Ushulnya
Madzab-madzab ahlussunnah seluruhnya adalah madzab yang haq, terutama madzab imam yang empat: Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’I dan Ahmad. Setiap madzab ini memiliki ciri khas. Adapun ciri khas yang membedakan madzab imam Ahmad dari yang lainnya adalah dekatnya dengan nash (dalil) dan fatwa-fatwa para sahabat Rasulullah.
Ushul (pokok) madzhab beliau ada lima:
  1. Nash (dalil Al Qur’an maupun As Sunnah). Jika ada nash maka beliau berfatwa sesuai nash tersebut. Beliau tidak menghiraukan apapun dan siapapun yang menyelisihinya.
  2. Fatwa sahabat. Yaitu jika terdapat fatwa/pendapat salah seorang sahabat Rasulullah dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pada hal tersebut.
  3. Jika fatwa sahabat berbeda satu dengan yang lainnya maka diambil yang paling mendekati Al Qur’an dan As Sunnah dan tidak keluar dari perdapat mereka. Tidak belum jelas bagi beliau mana pendapat yang sesuai dengan dalil maka beliau mengatakan ada khilaf dan tidak menjazm (memastikan) qoul/pendapat beliau.
  4. Mengambil marasil dan hadits yang lemah jika tidak ada yang menentangnya, dan mengedepankan hal ini atas qiyas. Tetapi yang dimaksud hadits lemah oleh beliau adalah (lemah yang masih) bagian dari hadits yang sahih atau hasan, bukan hadits batil, mungkar atau hadits yang riwayatnya tertuduh.
  5. Qiyas. Qiyas digunakan saat darurat yaitu jika tidak terdapat hal diatas.
Karangan beliau
Ibnu Qoyyim mengatakan, “Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah sangat tidak menyukai menyusun kitab. Beliau menyukai menulis hadits. Beliau sangat tidak suka perkataannya ditulis. Allah mengetahui baiknya niat dan maksud beliau. Perkataan dan fatwa-fatwa beliau ditulis mencapai lebih dari 30 kitab. Allah menganugerahi kita dari kebanyakannya dan tidak hilang (tulisan-tulisan tersebut) kecuali sedikit. Dan dikumpulkan nash-nash beliau di Al Jami’ al Kabir sehingga sampai sekitar 20 kitab atau lebih. Diriwayatkan pula fatwa-fatwa dan masa’il beliau dan dibicarakan (dibahas) dari generasi ke generasi. Beliau pun menjadi imam dan qudwah ahlussunnah…” [I’lamul Muwaqi’in, 1/28]
Diantara karangan beliau:
–          Al Musnad dalam hadits. Imam Ahmad berkata pada anaknya, “Hafalkanlah karena sesungguhnya dia akan menjadi imam bagi manusia
–          At Tafsir, tediri dari sekitar 120 ribu hadits dan atsar.
–          An Nasikh wa Al Mansukh
–          At Tarikh
–          Al Muqoddam wa Al Muawwal fil Qur’an
–          Jawabaati Al Qur’aniyah
–          Al Manasik Al Kabir wa Al Shaghir.
–          Az Zuhd
–          Ar Rad ‘ala Al Jahmiyah
Wafat
Beliau meninggal malam Jum’at, malam ke-12 bulan Rabi’ul Awwal 241H. Jenazah beliau dihadiri dan disholatkan oleh manusia yang begitu banyak jumlahnya. Dikatakan dalam sebuat riwayat yang mensholati beliau sekitar 1 juta, dalam riwayat yang lain bahkan sampai 1.6 juta. Semoga Allah merahmati beliau dan memberi balasan yang sebaik-baiknya.

Diringkas dari kutaib Min A’laamil Mujaddidin karya syaikh Dr. Saleh al Fauzan hafidzahullah.
Abu Zakariya Sutrisno. Riyadh, 7/11/1435H.

imam malik

Berikut profil dan biografi singkat dari Imam malik. Ia bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris Al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 712-796 M. Berasal dari keluarga Arab yang terhormat dan berstatus sosial yang tinggi, baik sebelum datangnya islam maupun sesudahnya, tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut islam mereka pindah ke Madinah, kakeknya Abu Amir adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama islam pada tahun ke dua Hijriah.

Kakek dan ayahnya termasuk ulama hadis terpandang di Madinah, oleh sebab itu, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu, karena beliau merasa Madinah adalah kota sumber ilmu yang berlimpah dengan ulama ulama besarnya. Imam Malik menekuni pelajaran hadis kepada ayah dan paman pamannya juga pernah berguru pada ulama ulama terkenal seperti Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab Al Zuhri, Abu Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said Al Anshari, Muhammad bin Munkadir, Abdurrahman bin Hurmuz dan Imam Ja’far AsShadiq.

Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan, tidak kurang empat Khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Harun Arrasyid dan Al Makmun pernah jadi muridnya, bahkan ulama ulama besar Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pun pernah menimba ilmu darinya, menurut sebuah riwayat disebutkan bahwa murid Imam Malik yang terkenal mencapai 1.300 orang. Ciri pengajaran Imam malik adalah disiplin, ketentraman dan rasa hormat murid terhadap gurunya.

Karya-karya Imam Malik
Karya Imam malik terbesar adalah bukunya Al Muwatha’ yaitu kitab fiqh yang berdasarkan himpunan hadis hadis pilihan, menurut beberapa riwayat mengatakan bahwa buku Al Muwatha’ tersebut tidak akan ada bila Imam Malik tidak dipaksa oleh Khalifah Al Mansur sebagai sangsi atas penolakannya untuk datang ke Baghdad, dan sangsinya yaitu mengumpulkan hadis hadis dan membukukannya, Awalnya imam Malik enggan untuk melakukannya, namun setelah dipikir pikir tak ada salahnya melakukan hal tersebut Akhirnya lahirlah Al Muwatha’ yang ditulis pada masa khalifah Al Mansur (754-775 M) dan selesai di masa khalifah Al Mahdi (775-785 M), semula kitab ini memuat 10 ribu hadis namun setelah diteliti ulang, Imam malik hanya memasukkan 1.720 hadis. Selain kitab tersebut, beliau juga mengarang buku Al Mudawwanah Al Kubra.

Imam malik tidak hanya meninggalkan warisan buku, tapi juga mewariskan Mazhab fiqhinya di kalangan sunni yang disebut sebagai mazhab Maliki, Mazhab ini sangat mengutamakan aspek kemaslahatan di dalam menetapkan hukum, sumber hukum yang menjadi pedoman dalam mazhab Maliki ini adalah Al Quran, Sunnah Rasulullah, Amalan para sahabat, Tradisi masyarakat Madinah, Qiyas dan Al Maslaha Al Mursal ( kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil tertentu.

imam hanafi

sebagai mam Abu Hanifah yang dikenal memiliki wawasan ilmu yang sangat luas. Dia dikenal dengan dengan sebutan Imam Hanafi bernama asli Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al Kufi, lahir di Irak pada tahun 80 Hijriah (699 M), pada masa kekhalifahan Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan. Beliau digelari Abu Hanifah (suci dan lurus) karena kesungguhannya dalam beribadah sejak masa kecilnya, berakhlak mulia serta menjauhi perbuatan dosa dan keji. dan mazhab fiqhinya dinamakan Mazhab Hanafi. Gelar ini merupakan berkah dari doa Ali bin Abi Thalib r.a, dimana suatu saat ayahnya (Tsabit) diajak oleh kakeknya (Zauti) untuk berziarah ke kediaman Ali r.a yang saat itu sedang menetap di Kufa akibat pertikaian politik yang mengguncang ummat islam pada saat itu, Ali r.a mendoakan agar keturunan Tsabit kelak akan menjadi orang orang yang utama di zamannya, dan doa itu pun terkabul dengan hadirnya Imam hanafi, namun tak lama kemudian ayahnya meninggal dunia.

Kehidupan Remaja Imam Hanafi
Pada masa remajanya, dengan segala kecemerlangan otaknya Imam Hanafi telah menunjukkan kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan hukum islam, kendati beliau anak seorang saudagar kaya namun beliau sangat menjauhi hidup yang bermewah mewah, begitu pun setelah beliau menjadi seorang pedagang yang sukses, hartanya lebih banyak didermakan ketimbang untuk kepentingan sendiri.

Disamping kesungguhannya dalam menuntut ilmu fiqh, beliau juga mendalami ilmu tafsir, hadis, bahasa arab dan ilmu hikmah, yang telah mengantarkannya sebagai ahli fiqh, dan keahliannya itu diakui oleh ulama ulama di zamannya, seperti Imam hammad bin Abi Sulaiman yang mempercayakannya untuk memberi fatwa dan pelajaran fiqh kepada murid muridnya. Keahliannya tersebut bahkan dipuji oleh Imam Syafi’i ” Abu Hanifah adalah bapak dan pemuka seluruh ulama fiqh “.

Karena kepeduliannya yang sangat besar terhadap hukum islam, Imam Hanafi kemudian mendirikan sebuah lembaga yang di dalamnya berkecimpung para ahli fiqh untuk bermusyawarah tentang hukum hukum islam serta menetapkan hukum hukumnya dalam bentuk tulisan sebagai perundang undangan dan beliau sendiri yang mengetuai lembaga tersebut. Jumlah hukum yang telah disusun oleh lembaga tersebut berkisar 83 ribu, 38 ribu diantaranya berkaitan dengan urusan agama dan 45 ribu lainnya mengenai urusan dunia.

Metode yang digunakan dalam menetapkan hukum (istinbat) berdasarkan pada tujuh hal pokok :

  1. Al Quran sebagai sumber dari segala sumber hukum.
  2. Sunnah Rasul sebagai penjelasan terhadap hal hal yang global yang ada dalam Al Quran.
  3. Fatwa sahabat (Aqwal Assahabah) karena mereka semua menyaksikan turunnya ayat dan mengetahui asbab nuzulnya serta asbabul khurujnya hadis dan para perawinya. Sedangkan fatwa para tabiin tidak memiliki kedudukan sebagaimana fatwa sahabat.
  4. Qiyas (Analogi) yang digunakan apabila tidak ada nash yang sharih dalam Al Quran, Hadis maupun Aqwal Asshabah.
  5. Istihsan yaitu keluar atau menyimpang dari keharusan logika menuju hukum lain yang menyalahinya dikarenakan tidak tepatnya Qiyas atau Qiyas tersebut berlawanan dengan Nash.
  6. Ijma’ yaitu kesepakatan para mujtahid dalam suatu kasus hukum pada suatu masa tertentu.
  7. Urf yaitu adat kebiasaan orang muslim dalam suatu masalah tertentu yang tidak ada nashnya dalam Al Quran, Sunnah dan belum ada prakteknya pada masa sahabat.
Karya besar yang ditinggalkan oleh Imam hanafi yaitu Fiqh Akhbar, Al ‘Alim Walmutam dan Musnad Fiqh Akhbar.